Sinopsis : Menciptakan sebuah film action yang berisikan aksi
tembak disana-sini dan kemudian menghasilkan kehancuran skala besar itu
sekarang ini terasa sangat mudah, terlebih dengan teknologi yang
semakin berkembang. Yang sulit adalah bagaimana jika mereka dikemas sama
menariknya namun juga memberikan hiburan yang bukan hanya sekedar
lewat, hiburan yang unforgettable, tampil elegan dengan sedikit kesan
misterius, meskipun ikut memberikan tugas yang jauh lebih besar untuk
mereka kendalikan dan selesaikan. Fury, understated raw action flick.
Koalisi anti-Jerman mulai mencoba memberikan tekanan pada Nazi pada
Perang Dunia ke 2, dan upaya mereka untuk menghentikan agresi Nazi
tersebut adalah dengan mencoba bergerak dan menaklukkan satu persatu
kota yang berada disekitar mereka. Ada empat tank yang bertugas bergerak
di garis terdepan, salah satunya adalah M4 Sherman yang dinamai Fury,
berisikan empat orang pria yang sudah lama berjuang bersama di medan
tempur, Boyd Swan (Shia LaBeouf), Trini Garcia (Michael Peña), Grady
Travis (Jon Bernthal), dibawah komando Don Collier (Brad Pitt), atau
yang lebih dikenal dengan panggilan Wardaddy.
Fury sendiri sebenarnya baru saja kehilangan salah satu anggotanya, yang
kemudian memaksa Wardaddy dan rekan-rekannya menerima seorang anggota
baru, tentara bernama Norman Ellison (Logan Lerman), prajurit yang
faktanya tidak pernah dilatih untuk menggunakan senjata karena selalu
bertugas dengan kertas dan alat tulis. Wardaddy mencoba merubah Norman
menjadi prajurit yang lebih kuat, namun keputusannya tersebut justru
menimbulkan gesekan dan masalah baru yang harus mereka hadapi, bukan
hanya antara dirinya dan Norman, namun ikut melibutkan anggota Fury.
Film yang sempat dianggap menjadi salah satu contender kuat di awards
season jauh sebelum ia dirilis ini bisa dikatakan menjadi sebuah “pesta”
bertemakan peperangan. Ya, pesta, penonton diajak oleh David Ayer untuk
menyaksikan hal-hal mengerikan yang terjadi pada Perang Dunia ke 2,
dari pria-pria macho yang seolah tidak pernah merasa takut dengan
kematian demi meraih dan mempertahankan harga diri bangsanya, kekacauan
dan kekerasan dalam tampilan “kotor” yang tidak malu-malu bermain dengan
darah, mayat-mayat yang telah membusuk, sikap kemanusiaan, hingga
gejolak mental dari para karakter lengkap dengan bumbu-bumbu kecil
terkait persahabatan hingga cinta.
Tampak gemuk memang, tapi faktanya fokus dari Fury sendiri terasa sangat
sempit, dan keputusannya untuk seolah bermain aman juga menjadi
penyebab Fury tidak berhasil meraih kemungkinan maksimal yang mereka
miliki. Fury adalah film action yang tampil berani dalam menggambarkan
kekacauan pada medan peperangan, tapi tampil kurang berani pada teknik
bercerita. Terkesan sangat berhati-hati, semua elemen seperti dijaga
untuk tidak bergerak terlalu jauh, tidak melebar terlalu luas, dengan
urutan alur yang berhasil dijaga untuk tetap intens dan padat itu fokus
seperti terus menerus ditujukan pada perkembangan karakter itu sendiri,
aksi bertahan hidup yang harus mereka lakukan dengan kemungkinan mati
dan terbunuh yang sama besarnya.
Keputusan David Ayer untuk membangun petualangan dengan bertumpukan pada
character driven terhitung berhasil memang, ada emosi yang bukan hanya
hadir dari karakter utama namun juga karakter pendukung, tidak kuat tapi
ada daya tarik pada cara mereka berhadapan dengan tragedi, tekanan
mental, rasa lelah, dan sesekali kombinasi mereka terasa provokatif.
Yang menjadi masalah adalah dengan sikap hati-hati dan tidak ingin
bermain terlalu jauh tadi menjadikan Fury sering memberikan pengulangan
pada narasi, meskipun berisikan materi yang berhasil memberikan
kejutan-kejutan menarik tapi perlahan seperti membuka masuk rasa
frustasi pada karakter untuk berpindah menuju penonton.
Tidak melelahkan memang, apalagi membosankan, tapi dengan cara ia
berjalan yang tergolong lambat itu ada situasi monoton di beberapa titik
cerita, dan ketiadaan upaya untuk membakar cerita dengan menekankan
isu-isu tajam seperti misalnya patriotisme menyebabkan Fury seperti
bermain tarik dan ulur dengan penonton, kita seperti dibuat
menanti-nanti apa yang akan terjadi pada karakter yang bergerak juga
tanpa disertai sebuah kejelasan yang kuat pada pesan yang ia bawa,
ambigu, ia terlalu menarik untuk ditinggalkan, tapi beberapa minus
diatas tadi membuat penonton malas atau tidak bisa untuk mencoba
terlibat lebih jauh. Hal tersebut yang cukup disayangkan hadir pada
Fury, upaya untuk tampil misterius justru sering menghalangi kenikmatan
yang lebih besar datang menghampiri penontonnya.
Dari hal teknis ini kuat, sebut saja gambar-gambar yang terasa presisi
dalam menggambarkan kehancuran itu, termasuk permainan ruang sempit
didalam tank yang berhasil menjadikan penonton seolah ikut berada disana
bersama karakter, belum lagi keterlibatan score dari Steven Price yang
sukses membuat penonton terombang-ambing bersama atmosfir cerita.
Hal-hal tadi tidak pernah berhenti menjadikan Fury terasa menarik, tapi
sayangnya keberadaannya tidak dominan akibat cerita yang kurang dinamis
itu, Fury pernah tampil brutal dan menyenangkan, tapi ia juga pernah
terasa stuck, Fury tidak pernah gagal memberikan kejutan pada penonton,
tapi ia juga sering membuat penonton menunggu bersama gambar-gambar yang
seperti kehilangan energi di momen tenang itu.
Namun dengan segala plus dan minus tadi Fury mungkin telah menjadi salah
satu film yang akan sulit untuk saya lupakan. Pahit dan manis yang ia
berikan seimbang, scene terakhir yang secara konstan bergerak menjauh
keatas itu juga bisa menjadi salah satu momen paling memorable tahun
ini, dan faktor lainnya adalah kinerja divisi akting yang memberikan
kejutan menyenangkan.
Narasi memang menghalangi kita untuk merasa terlibat dengan mereka, tapi
mereka punya pesona yang tampil efektif. Brad Pitt memberikan performa
yang solid, ia juga mampu menggerakkan cerita yang bertumpu pada
karakter itu, tapi kejutan justru hadir dari bagian pendukung. Shia
LaBeouf tampil mengesankan, dilema moral yang ia alami terus hidup
didalam sorot matanya, sedangkan bintang utamanya adalah Logan Lerman,
puppy becomes a monster tergambarkan dengan impresif, tekanan yang ia
alami tergambarkan dengan baik ketika ia takut dan marah. And Emma
(Alicia von Rittberg) is attention stealer. Oh, dear.
Overall, Fury adalah film yang cukup memuaskan. Fury seperti sebuah
daging yang dipanggang oleh seorang koki yang iseng, terkadang ia
menyalakan api dalam kuantitas besar, tapi sering pula ia mengecilkan
api tadi hingga mendekati titik minimal. Punya daya tarik yang konsisten
hidup hingga akhir, adegan aksi yang intens dan beberapa terasa
memukau, penampilan divisi akting yang kuat, tapi keputusannya untuk
tampil sedikit misterius terutama pada sektor cerita sering meruntuhkan
gelora yang ia miliki untuk membuat penonton terjebak dan terpaku jauh
lebih dalam didalam pesta ini bersamanya.
Detail :Video Encode: AVC (H.264)
Audio Encode: AAC (Stereo)
Resolusi: 360p
Durasi: 2 Jam - 14 Menit - 58 Detik
Size: 317 mb
Download :
Subtitle :